kematian ibu

Tahun berulang, Indonesia masih menuai prestasi di Asean sebagai pemegang angka kema¬tian ibu tertinggi. Apa yang salah pada ibu melahirkan di negeri ini?

Zoelkifly gundah. Se¬ba¬gai seorang dokter, tak henti-hentinya ia menyesali kejadian sore itu. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Ba¬ru saja, seorang ibu menghembuskan nafasnya ketika menjalani kodratnya me¬lahirkan seorang anak. Dengan tugas ma¬ha penting itu, seharusnya keluarga lebih tanggap terhadap semua kemungkinan yang terjadi. Namun sayangnya, ibu itu baru dibawa ke rumah sakit, ketika telah mengalami pendarahan yang cukup pa¬rah. Hb-nya sudah berada di kisaran tu¬juh, ketika mulai ditangani. Operasi Cae¬sar yang dilakukan akhirnya hanya mam¬pu menyelamatkan bayi. Yang lebih memprihatinkan, keluarga enggan untuk membawanya ke rumah sakit dan ditangani dok¬ter, adalah karena berfikir bahawa dana yang dikeluarkan akan besar. “Ha¬nya karena biaya….” Tak henti-hentinya dokter yang berpraktek di Sawangan ter¬sebut menghela nafas.

Masalah di atas bukan hanya dialami oleh Dokter Zoelkifly. Kematian ibu me¬la¬hirkan masih menjadi persoalan yang cu¬kup pelik di negeri ini. Tahun demi tahun masih panjang daftar wanita yang menjadi korban takdirnya. Dan, kita bukan se¬dang mempersoalkan angka secara statistik, tapi kenyataan bahwa angka kematian ibu di Indonesia masih yang tertinggi di Asean. Data terakhir dari BPS adalah sebesar 262 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2005. Sedangkan Laporan Pembangunan Manusia tahun 2000 me¬nye¬butkan angka kematian ibu di Ma¬lay¬sia jauh di bawah Indonesia yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100 ribu kelahiran hidup, Thai¬land 44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filiphina 170 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada¬hal, tahun 2000 itu angka kematian ibu ma¬¬sih berkisar di angka 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara yang be¬lum lama merdeka, yang memiliki angka ke¬matian ibu 160 per 100 ribu kelahiran hidup.

Pembuat kebijakan bukannya tidak me¬¬nyadari arti angka-angka tersebut. Apa¬lagi, angka kematian ibu merupakan salah satu indikator derajat ke¬sehatan se¬buah Negara. Masalah ting¬gi¬nya angka kematian ibu telah lama diupayakan pemecahannya. Berbagai upaya dilaku¬kan untuk menurunkan level ini. Na¬mun sepertinya upaya yang keras itu, se¬perti melempar bola ke dinding, karena kembali terpantul, meski dengan ketinggian yang se¬dikit lebih rendah.

Seperti kasus yang dialami oleh Zoel¬kifly, pendarahan menjadi penyebab uta¬ma kematian ibu di negeri ini. Penyebab kedua adalah eklampsia lalu infeksi. Se¬mua hal ini bertanggung jawab terhadap hampir 70 persen kematian ibu yang me¬ru¬pakan penyebab langsung. Aborsi tidak aman juga memberi porsi pada angka ke¬matian ibu. Risiko kematian ibu me¬la¬hir¬kan juga diperburuk dengan adanya pe¬nya¬kit yang mungkin diderita ibu hamil seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, anemia, dan malaria. Laporan depkes mengata¬kan, prevalensi anemia pada ibu hamil ma¬sih sangat tinggi, yaitu 51 persen.

Ya, faktor-faktor di atas memang pe¬nye¬bab langsung kematian ibu mela¬hir¬kan. Tapi, seharusnya penyebab kemati¬an dapat diminimalkan.

Perdarahan, memang umumnya terjadi secara tiba-tiba dan tidak bisa diprediksikan. Namun jika ibu cepat dibawa ke layanan fasilitas kesehatan, faktor risiko tersebut mungkin dapat ditanggulangi hingga kisah di atas mungkin tidak terjadi. Kematian akibat aborsi bisa ditekan, jika wanita memiliki cukup informasi tentang kontrasepsi dan perawatan pasca aborsi. Demikian juga dengan kasus ek¬lamp¬sia yang menyumbang 13 persen pe¬nyebab kematian ibu melahirkan. An¬te¬na¬tal care, yang memantau kondisi kehamilan ibu secara teratur seharusnya dapat memprediksi risiko yang mungkin timbul hingga dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan.

Pantauan kesehatan ibu semasa ke¬ha¬milan baik untuk keadaan normal mau¬pun darurat serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih memain¬kan peran penting dalam menekan angka kematian ibu. Di manapun ibu melahir¬kan, jika dilakukan oleh tenaga medis te¬rampil dapat membantu mengenali ke¬ga¬wat¬an medis dan membantu keluarga un¬tuk mencari perawatan darurat.

Sayangnya, lagi-lagi tenaga me¬dis dan proses kelahiran yang merupakan tahapan penting dalam kelang¬sung¬an spesies manusia seolah dibatasi oleh tembok tebal. Laporan WHO menga¬takan, meski kunjungan antenatal pertama dapat menjangkau 90 persen dari ibu hamil, namun saat kelahiran tiba, hanya 60 persen yang dilakukan oleh tenaga terampil. Bahkan menurut survei Demografi dan Ke¬sehatan Indonesia tahun 1997, se¬ba¬nyak 54 persen persalinan masih ditolong oleh dukun bayi.

Faktor yang saling terkait

Tembok tebal antara tenaga medis dan proses kehamilan dan persalinan yang sehat disusun oleh berbagai faktor yang saling terkait mulai dari tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor budaya, kondisi geografis dan transportasi.

Pasien Zoelkifly, mungkin satu di an¬ta¬ra sekian contoh bagaimana ekonomi men¬jadi biang keladi penyebab kematian ibu melahirkan di samping factor tingkat pendidikan dan minimnya pengetahuan akan kesehatan serta layanannya. Simak lagi data dari WHO tahun 2002. Pada wanita yang memiliki tingkat ekonomi le¬bih tinggi, maka sebanyak 89,2 persen kelahiran ditolong oleh tenaga kesehat¬an. Kondisi ini sangat timpang pada wanita dengan tingkat ekonomi rendah, yaitu hanya 21,3 persen.

Kondisi geografis yang sulit ditempuh dan masalah transportasi menjadi salah satu penyebab terlambatnya ibu menda¬pat pertolongan. Menurut data BPS tahun 2002 menyebutkan bahwa Jakarta, sebagai kota metropolitan, memegang rekor tertinggi persalinan yang ditolong oleh te-naga kesehatan, yaitu sebesar 96 per¬sen. Angka terendah oleh Sulawesi Teng¬ga¬ra yaitu 35 persen. Di daerah dengan kondisi geografis dan transportasi yang sulit, meski sudah ditangani oleh bidan, namun jika dalam proses kelahiran me¬mer¬lukan pertolongan darurat, maka kondisi tersebut akan memperlambat ibu me¬la¬hirkan mencapai fasilitas kesehatan. Point yang menentukan berhasil tidaknya upaya penyelamatan nyawa ibu.

Tak hanya kondisi geografis, budaya yang berlaku di masyarakat setempat cu¬kup membuat tenaga terlatih sulit mela¬ku¬kan fungsinya. Alih-alih memilih bidan, ada sebagian golongan masyarakat me¬mi¬lih dukun bayi sebagai penolong kela¬hir¬an. “Meski ditempatkan bidan, tapi ma¬-syarakatnya tidak mau meminta perto¬long¬an,” ujar Dirjen Bina Kesehatan Ma¬syarakat Departemen Kesehatan Dr. Sri Astuti Suparmanto, MSc.PH.

Kesehatan Ibu : Prioritas Depkes

Tak lelah untuk mengempiskan angka kematian ibu, tahun 2005 hingga 2009, pemerintah kembali menitikberatkan perhatian pada kesehatan ibu. Departemen kesehatan dalam periode tersebut me-nempatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas pertama pembangunan kesehatan. Sesu¬dah¬nya menyusul pelayanan kesehatan ba¬gi masyarakat mis¬kin, pendayagunaan tenaga kesehat¬an, penanggulangan pe¬nya¬kit menular, gi¬zi buruk, dan krisis ke¬sehatan akibat bencana, serta pening¬katan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, dae¬rah perbatasan, dan pulau-pulau terluar. Program-program tersebut, sangat ber¬kait¬¬an untuk me¬ning¬kat¬kan kesehatan rak¬¬yat. “Masyarakat mis¬kin berarti terma¬suk juga ibu dan anak,” kata Sri Astuti.

Realisasinya, Menteri Kesehatan Fa¬dil¬lah Supari mengatakan Program Asu¬ran¬si Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) sejak tahun 2005 dan 2006 dapat mencakup 60 juta penduduk mis¬kin dan hampir miskin, dibanding tahun 2005 yang hanya mencakup 36,1 juta penduduk miskin. Dan pada tahun 2007, telah men¬cakup 76,4 juta masyarakat mis¬kin. Masalah keterlambatan ibu mela¬hir¬kan dibawa ke fasilitas kesehatan ba¬nyak karena alasan biaya. Kini, hal itu menjadi urusan pemerintah. “Di manapun me¬lahirkan, entah di ru¬mah, rumah sakit, akan dibayar (bia¬ya¬nya),” ujar Fa¬dillah ke¬pada Farmacia.

Puskesmas, sebagai gar¬da terdepan fasilitas kesehatan di daerah, punya peranan penting. “Di pus-kes¬mas su¬dah bisa dilakukan life saving. Ber¬arti pe¬layanan untuk mendeteksi, menangani, dan me¬mu¬lihkan sudah berjalan,” kata Sri Astuti.

Tenaga kesehatan menjadi faktor penting untuk me¬nurunkan angka kemati¬an. Pemerintah ‘ngebut’ untuk menambah tenaga ini. “Per¬sa¬linan kini semakin banyak ditolong oleh tenaga terlatih. Ta¬hun 2002, persalinan yang dibantu tenaga terlatih adalah 68,4 persen. Data ta¬hun 2005 meningkat men¬jadi 76,69 per¬sen,” ujar Sri Astuti lagi.

Menjawab ketiadaan tenaga bidan di desa, tahun 2006 lalu telah ditempatkan 12.000 bidan, dan tahun 2007 sebanyak 30.000. Hingga akhir tahun 2008, ditargetkan ada 70.000 bidan ditempatkan di de¬sa. Untuk dae¬rah terpencil bidan di¬be¬ri¬kan insentif yang lebih besar. “Untuk bi-dan di dae¬rah terpencil, in¬sentifnya Rp 2,5 juta,” kata Sri.

Tidak dalam sekejap

Berbagai program tadi, setidak¬nya mam¬pu mengurangi jumlah wanita yang me¬ninggal ke¬ti¬ka menjalani tak¬dir¬nya. Ang¬ka ke¬ma¬tian ibu telah me¬nurun, dari 390 per 100.000 kela¬hiran hidup menurut Sur¬vei De¬mo¬grafi dan Kesehatan In¬do¬nesia (SDKI) ta¬hun 1994 menjadi 334 menurut SDKI ta¬hun 1997, dan 307 me¬nurut SDKI 2002-2003. Lalu tahun 2005 angka itu menurun menjadi 262, lalu 253 pada 2006.

Menurut Sri Astuti penurunan angka kematian ibu memiliki korelasi langsung dengan program-program yang dilakukan pemerintah. “Penurunan ini terjadi bukan tanpa sebab, tetapi karena kita sudah memperkuat sarana dan prasarana kesehatan,” ujarnya.

Meskipun banyak anggapan bahwa ang¬ka itu masih jauh dari harapan, terle¬bih dengan prestasi Indonesia yang ma¬sih tertinggi di Asean, Sri Astuti menanggapi hal itu mengatakan, “Ini bukan jeanny in the bottle.” Maksudnya semua tidak terjadi dalam sekejap. Tetap diperlukan proses untuk mencapai hal yang ideal.

Maka, depkes pun pasang ancang-an¬cang lagi. Tahun 2007 ini target angka kematian ibu turun menjadi 244 per 100.000 ke¬lahiran hidup. Tahun 2008 menjadi 235 per kelahiran hidup. Hingga akhir tahun 2009 diharapkan angka ke¬matian ibu mencapai 226 per 100.000 ke¬lahiran hi¬dup. Mampukah negeri ini men¬capai bah¬kan melampaui target ter¬se¬but? “Mu¬dah-mudahan,” ujar Sri Astuti.

Desa Siaga setidaknya menjadi tum¬pu¬an harapan untuk pembangunan kesehatan. “Nantinya semua desa ditargetkan menjadi desa siaga,” kata Fadillah. “Kon¬sep desa siaga diarahkan untuk men¬sin¬kronkan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat seperti posyandu, bidan de¬sa, dan lain-lain agar lebih fokus, tepat sasaran, dan terpadu.” Sebelumnya telah bergulir berbagai program seperti suami siaga dan bidan siaga. Fokus pengem¬bang¬an desa siaga diarahkan yang pertama untuk upaya penurunan angka kema¬tian ibu dan bayi. Data tahun 2006 me¬nye¬butkan telah terdapat 12.942 desa siaga dari 12.000 yang ditargetkan.

Depkes mengaku tidak bisa berdiri sen¬¬diri dalam mewujudkan masyarakat se¬hat. Dibu¬tuh¬kan kemitraan dengan ber¬bagai komponen bangsa. “Peran antro¬po¬log, misalnya diperlukan untuk mengatasi hambatan bu¬daya,” kata Sri Astuti.

Next Challenge: Desentralisasi

Desentralisasi di bidang kesehatan akan menjadi tantangan pen¬ting dalam pem¬bangunan ksehatan. Laporan Bape¬nas mengatakan bah¬wa perubahan dan tanggung jawab pemerintah pusat dan dae¬rah belum secara jelas terdefinisikan dan dipahami. Dengan penganggaran yang juga didesentralisasikan, daerah de¬ngan kemampuan keuangan yang rendah akan mengalami kesulitan untuk mengalokasikan anggaran ke¬sehatannya karena harus pula memperhatikan prioritas-prio¬ri-tas pembangunan lain.

Ada cerita menarik dari rapat kerja menteri kesehatan dengan komisi IX DPR tanggal 4 Juni 2007 lalu. Menkes Fa¬dil¬lah Supari mengatakan, ketika berkunjung ke daerah di luar Jawa, pemerintah daerahnya berencana memindahkan RSUD ke dae¬rah yang letaknya agak pinggiran. Pa¬da¬hal, cukup banyak pasien yang dilayani ru¬mah sakit tersebut. Fa¬dillah meminta de¬ngan sangat kepada ke¬pala daerah yang bersangkutan agar ti¬dak jadi melaksana¬kan rencananya. Me¬nu-rutnya, jika me¬mang ingin membangun rumah sakit baru, biarkan ru¬mah sakit yang lama tetap berdiri.

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar